Kisah Next Generation 2 - Diam-Diam Mencintaimu 2
Disclamer: J. K. Rowling
KISAH NEXT GENERATION 2: DIAM-DIAM
MENCINTAIMU
Tanggal: Kamis, 4 Desember 2018
Tempat: Perpustakaan Hogwarts
Waktu: Setelah makam malam
“Nah, kau memandang siapa? Ayo!” terdengar suara Dom.
Dia dan Lucy sudah berdiri di depanku, memandang berkeliling perpustakaan
dengan curiga.
“Aku sedang membaca!” kataku, menutup buku. “Ada apa?”
Mereka berdua duduk di depanku.
“Aku ingin kita semua berkumpul,” kata Dom, dia kelihatan cemas.
“Ada apa?” tanyaku. “Apakah terjadi sesuatu? Kita baru mengadakan pertemuan
keluarga tiga minggu yang lalu.”
“Ini tentang Louis,” kata Dom. “Aku cemas―aku takut terjadi
sesuatu padanya.”
“Ya, aku juga sudah memikirkan hal itu,” kataku, “Kita bertemu di tempat
biasa jam delapan.”
“Sekarang sudah hampir jam delapan dan kita perlu waktu untuk mencari
anak-anak, bagaimana kalau jam sembilan?” tanya Lucy.
“Kalau jam sembilan mulai, selesainya bisa sampai jam sepuluh. Dan aku tidak ingin kalian berkeliaran di koridor jam sepuluh malam, kalian bisa ditangkap Prefek, dan didetensi. Jadi, pertemuannya tetap
jam delapan. Pergilah, cari
anak-anak!”
“Oke,” jawab mereka bersamaan, lalu berjalan meninggalkanku.
Masalah Louis yang sering membolos Herbology telah dimulai sejak kelas
satu, dia berhasil naik ke kelas dua dan tiga dengan nilai pas-pasan (aku
curiga ini karena Neville Longbottom bersahabat dengan Uncle Harry dan Uncle
Ron). Tetapi masalah ini memang tidak bisa dibiarkan berkelanjutan, karena
bisa-bisa dia tidak akan lulus Herbology tahun ini. Dan aku tidak ingin itu
terjadi, aku tidak ingin ada keluarga Weasley yang terpaksa mengulang mata
pelajaran tertentu.
Aku menghela nafas, mengangkat muka dan melihat Julian sedang mengawasiku.
Tak ingin ketahuan bahwa aku sedang mengawasinya, aku segera bangkit, menyambar
Transfigurasi untuk Tingkat Menengah
dan menuju rak Transfigurasi untuk mengembalikannya. Setiba di sana, aku
mendengar suara pertengkaran dari balik rak buku.
“Kau bukan cowok paling tampan yang pernah ada, kau hanya berlindung di belakang nama orangtuamu yang sudah
terkenal,” terdengar suara seorang anak perempuan bernada mencela.
“Apa hubungannya ini dengan orangtuaku yang terkenal?” tanya suara Al, dari
suaranya aku tahu bahwa dia juga sedang marah.
“Aku cuma ingin mengingatkanmu untuk menjaga kelakukan dan bersikaplah sopan
terhadap anak perempuan.”
“Wah, kalau anak perempuan sepertimu, cumi-cumi raksasa juga tidak akan
bersikap sopan,” kata Al, tajam dan kasar.
“Kau—Kau! Aku tidak akan mengijinkanmu menyentuhku sedikit pun.”
“Ha, memang siapa yang mau menyentuhmu? Apakah aku pernah bilang bahwa aku
ingin menyentuhmu?”
“Tidak, tapi—”
“Kalau begitu menyingkirlah!”
“Aku tidak akan menyingkir karena aku duluan yang mengambil buku ini, jadi
lepaskan tanganmu!”
“Enak saja! Aku sudah melihatnya duluan sebelum kau datang,” kata Al.
“Tapi aku harus menyelesaikan PR Transfigurasiku malam ini!”
“Sama, aku juga harus mengerjakannya. Rose, sedang menungguku, jadi
meyingkirlah!”
“Tidak!”
Tidak tahan lagi mendengar percekcokan ini, aku segera meletakkan Transfigurasi untuk Tingkat Menengah di
rak dan mendatangi Al yang sedang berebutan buku dengan seorang anak perempuan
berambut merah kecokelatan dan berdasi hijau Slytherin.
“Nah, nah ada apa ini?” tanyaku, saat tiba di tempat mereka.
Mereka berdua menoleh memandangku. Memakai kesempatan, Al segera menarik
lepas buku dari tangan anak perempuan itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi jauh
dari jangkauannya.
“Kembalikan!” desis anak itu, mencoba meraihnya.
“Menyerahlah, Miss―siapa namamu?”
“Kau tidak mengenalku?” anak itu
kelihatan shock, lebih shock dari waktu Al merebut bukunya.
“Memangnya aku harus mengenalmu?” tanya Al.
Untuk sesaat, anak perempuan itu tidak mampu berkata apa-apa. Masih shock
karena Al tidak mengenalnya.
“Kalian berdua bisa memakai buku itu bersama-sama. Al, kau kan bisa berbagi dengannya,”
kataku, memandang Al.
“Weasley,” kata anak perempuan itu, akhirnya bisa menemukan suaranya
kembali, dia menatap rambut merahku. “Saudara… Pantas saja.”
Cewek itu mencibir, lalu pergi meninggalkan kami.
“Kenapa sih cewek itu?” tanya Al.
“Kau tidak mengenalnya, Al?” tanyaku. “Sepertinya dia ingin agar kau
mengenalnya.”
“Siapa juga yang mengenal cewek aneh seperti itu,” kata Al cuek, lalu
berjalan menuju mejanya dan Rose.
Aku segera mengikutinya.
Kami duduk di dekat Rose, yang tampak asyik menulis sesuatu di perkamen.
“Hai, Molly!” katanya, mengangkat muka. “Dan apa yang terjadi denganmu?”
tambahnya pada Al yang berwajah muram.
Al segera menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi, pada saat yang
sama si anak perempuan Slytherin lewat di dekat meja kami. Dia mendelik pada
Al, yang dibalas Al dengan tertarik.
“Ariella Zabini,” kata Rose, yang juga sedang memandang si anak perempuan
Slytherin. “Salah satu dari cewek Slytherin yang suka mengikik.”
“Zabini?” Al kelihatan terkejut. “Dia kan pasanganku di kelas Ramuan...”
“Benar, Al, kau sudah berpasangan dengannya selama dua tahun dan kau tidak
mengenalnya, pantas saja dia tersinggung.”
“Aku kan tidak pernah memperhatikan wajah anak-anak perempuan, apalagi anak
perempuan Slytherin,” kata Al, membela diri.
“Sudahlah, kita lupakan Zabini, atau apapun namanya,” kataku cepat.
“Sekarang dengarkan aku, aku ingin kita semua bertemu di tempat biasa. Ada yang
ingin kubicarakan.”
“Bicara?” Rose menatapku dengan cemas. “Bicara apa? Malfoy dan aku tidak
bertengkar lagi dan―”
“Menyebut namaku, Weasel Queen!”
Malfoy, pucat dan berdagu runcing, mendatangi meja kami bersama seorang
anak laki-laki berbadan besar, dan empat anak perempuan, yang memakai dasi
hijau Slytherin, salah satunya adalah si cewek Zabini. Malfoy, meskipun lebih
pendek beberapa centi dari anak-anak lain, tapi dia tampaknya adalah pemimpin
mereka.
“Malfoy!” desis Rose, berdiri menghadapi Malfoy.
“Kulihat kau semakin ceking saja, Weasel Queen!”
“Kulihat kau semakin pendek saja, Vampir!”
Al cekikikan.
Aku menahan diri untuk tidak terkikik, aku kan lebih tua dari mereka, jadi
aku harus bisa bersikap sebagai kakak yang tidak memihak. Tapi, kata-kata Rose
tidak sepenuhnya benar, karena Malfoy tampaknya telah lebih tinggi dari tahun
sebelumnya, saat dia dan Rose berkelahi di kereta api, dia sekarang hampir sama
tingginya dengan Rose.
Malfoy murka, kelihatannya sedang berusaha menahan diri untuk tidak
mencekik Rose. Dia mendelik pada Rose sesaat lalu mengalihkan pandangan pada Al.
“Membuat anak perempuan menangis adalah perbuatan yang rendah, Potter, bagaimana
kau bisa menyebut Harry Potter ayahmu?”
“Jelaskan apa yang kau maksudkan, Malfoy, kalau tidak menyingkirlah dari
hadapan kami!” kata Rose.
“Dia membuat sepupuku menangis,” kata Malfoy, menunjuk si cewek Zabini, yang tampak sedih di dekatnya.
Aku memandang cewek Zabini dengan tidak yakin. Wajah Zabini terlihat sedih
dibuat-buat, jelas sekali omong kosong. Tapi, tampaknya Malfoy tidak begitu
memperhatikannya.
“Kau memang sangat pandai berakting, Zabini!” desis Al, yang kemudian juga
berdiri.
“Oh, jadi dia sepupumu, Malfoy,” kata Rose, mencibir. “Pantas saja!”
“Apa maksudmu, Weasel Queen?” tanya Cewek Zabini.
“Entahlah,” kata Rose, memandang langit-langit.
Malfoy mendekatkan wajahnya pada Rose, yang menolak untuk mundur dan
mendesis tepat di hidung Rose.
“Jangan coba-coba menghina sepupuku, Weasley, atau kau akan tahu sendiri akibatnya,”
“Oh ya, aku benar-benar ingin tahu bagaimana akibatnya,” kata Rose, balas
mendesis di hidung Malfoy.
Wajah keduanya hanya berjarak beberapa senti, dan pikiran lain masuk ke
otakku: apakah mereka sebentar lagi akan berciuman?
Ha? Dari mana pikiran itu berasal? Aku berdehem dan Malfoy segera
menjauhkan diri dari Rose dan memandang Al.
“Dan kau Potter, aku akan membunuhmu kalau kau berani menyentuh sepupuku,”
kata Malfoy.
“Aku lebih baik menyentuh cumi-cumi raksasa dari pada menyentuh sepupumu,
Malfoy,” balas Al.
Wajah cewek Zabini memerah. Malfoy dan Rose mencabut tongkat sihir secara
bersamaan.
Aku membanting buku dan berdiri.
“Rose simpan tongkat sihirmu, dan Malfoy―” aku memandangnya.
“Pergilah! Kau tidak ingin membuat keributan di perpustakaan, kan?”
Malfoy mendelik padaku, kemudian berjalan menjauh diikuti geng
Slytherin-nya.
“Cewek itu, benar-benar tidak bisa dipercaya,” desis Al, mendelik pada
belakang kepala Zabini yang berambut merah kecokelatan.
Ya ampun, anak-anak ini, padahal ini baru tahun kedua mereka di Hogwarts,
apa yang terjadi pada tahun keenam dan tujuh mereka nanti? Oh, syukurlah, saat
itu aku sudah meninggalkan Hogwarts!
Menghela nafas, memandang meja di depanku, dan terkejut karena aku
bertatapan dengan mata biru gelap Julian lagi. Sejak kapan dia ada di situ?
Tetapi aku tidak akan memikirkannya sekarang. Kami harus segera ke tempat
pertemuan.
“Bereskan, barang-barang kalian, Rose, Al, kita harus segera pergi!”
kataku, menyambar tasku sendiri dan segera berjalan keluar perpustakaan diikuti
oleh Rose dan Al.
Sincerely,
Molly
Weasley
Si Penjaga anak-anak yang tampaknya sebentar
lagi akan melupakan bagaimana rasanya sendiri.
Bersambung ke Chapter 3
0 komentar: