Kisah Next Generation 2 - Diam-Diam Mencintaimu 2

Disclamer: J. K. Rowling

KISAH NEXT GENERATION 2: DIAM-DIAM MENCINTAIMU

Chapter 2


Tanggal: Kamis, 4 Desember 2018
Tempat: Perpustakaan Hogwarts
Waktu: Setelah makam malam 
“Nah, kau memandang siapa? Ayo!” terdengar suara Dom.
Dia dan Lucy sudah berdiri di depanku, memandang berkeliling perpustakaan dengan curiga.
“Aku sedang membaca!” kataku, menutup buku. “Ada apa?”
Mereka berdua duduk di depanku.
“Aku ingin kita semua berkumpul,” kata Dom, dia kelihatan cemas.
“Ada apa?” tanyaku. “Apakah terjadi sesuatu? Kita baru mengadakan pertemuan keluarga tiga minggu yang lalu.”
“Ini tentang Louis,” kata Dom. “Aku cemasaku takut terjadi sesuatu padanya.”
“Ya, aku juga sudah memikirkan hal itu,” kataku, “Kita bertemu di tempat biasa jam delapan.”
“Sekarang sudah hampir jam delapan dan kita perlu waktu untuk mencari anak-anak, bagaimana kalau jam sembilan?” tanya Lucy.
“Kalau jam sembilan mulai, selesainya bisa sampai jam sepuluh. Dan aku tidak ingin kalian berkeliaran di koridor jam sepuluh malam, kalian bisa ditangkap Prefek, dan didetensi. Jadi, pertemuannya tetap jam delapan. Pergilah, cari anak-anak!”
“Oke,” jawab mereka bersamaan, lalu berjalan meninggalkanku.
Masalah Louis yang sering membolos Herbology telah dimulai sejak kelas satu, dia berhasil naik ke kelas dua dan tiga dengan nilai pas-pasan (aku curiga ini karena Neville Longbottom bersahabat dengan Uncle Harry dan Uncle Ron). Tetapi masalah ini memang tidak bisa dibiarkan berkelanjutan, karena bisa-bisa dia tidak akan lulus Herbology tahun ini. Dan aku tidak ingin itu terjadi, aku tidak ingin ada keluarga Weasley yang terpaksa mengulang mata pelajaran tertentu.
Aku menghela nafas, mengangkat muka dan melihat Julian sedang mengawasiku. Tak ingin ketahuan bahwa aku sedang mengawasinya, aku segera bangkit, menyambar Transfigurasi untuk Tingkat Menengah dan menuju rak Transfigurasi untuk mengembalikannya. Setiba di sana, aku mendengar suara pertengkaran dari balik rak buku.
“Kau bukan cowok paling tampan yang pernah ada, kau hanya berlindung di belakang nama orangtuamu yang sudah terkenal,” terdengar suara seorang anak perempuan bernada mencela.
“Apa hubungannya ini dengan orangtuaku yang terkenal?” tanya suara Al, dari suaranya aku tahu bahwa dia juga sedang marah.
“Aku cuma ingin mengingatkanmu untuk menjaga kelakukan dan bersikaplah sopan terhadap anak perempuan.”
“Wah, kalau anak perempuan sepertimu, cumi-cumi raksasa juga tidak akan bersikap sopan,” kata Al, tajam dan kasar.
“KauKau! Aku tidak akan mengijinkanmu menyentuhku sedikit pun.”
“Ha, memang siapa yang mau menyentuhmu? Apakah aku pernah bilang bahwa aku ingin menyentuhmu?”
“Tidak, tapi
“Kalau begitu menyingkirlah!”
“Aku tidak akan menyingkir karena aku duluan yang mengambil buku ini, jadi lepaskan tanganmu!”
“Enak saja! Aku sudah melihatnya duluan sebelum kau datang,” kata Al.
“Tapi aku harus menyelesaikan PR Transfigurasiku malam ini!”
“Sama, aku juga harus mengerjakannya. Rose, sedang menungguku, jadi meyingkirlah!”
“Tidak!
Tidak tahan lagi mendengar percekcokan ini, aku segera meletakkan Transfigurasi untuk Tingkat Menengah di rak dan mendatangi Al yang sedang berebutan buku dengan seorang anak perempuan berambut merah kecokelatan dan berdasi hijau Slytherin.
“Nah, nah ada apa ini?” tanyaku, saat tiba di tempat mereka.
Mereka berdua menoleh memandangku. Memakai kesempatan, Al segera menarik lepas buku dari tangan anak perempuan itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi jauh dari jangkauannya.
“Kembalikan!” desis anak itu, mencoba meraihnya.
“Menyerahlah, Misssiapa namamu?”
Kau tidak mengenalku?” anak itu kelihatan shock, lebih shock dari waktu Al merebut bukunya.
“Memangnya aku harus mengenalmu?” tanya Al.
Untuk sesaat, anak perempuan itu tidak mampu berkata apa-apa. Masih shock karena Al tidak mengenalnya.
“Kalian berdua bisa memakai buku itu bersama-sama. Al, kau kan bisa berbagi dengannya,” kataku, memandang Al.
“Weasley,” kata anak perempuan itu, akhirnya bisa menemukan suaranya kembali, dia menatap rambut merahku. “Saudara… Pantas saja.”
Cewek itu mencibir, lalu pergi meninggalkan kami.
“Kenapa sih cewek itu?” tanya Al.
“Kau tidak mengenalnya, Al?” tanyaku. “Sepertinya dia ingin agar kau mengenalnya.”
“Siapa juga yang mengenal cewek aneh seperti itu,” kata Al cuek, lalu berjalan menuju mejanya dan Rose.
Aku segera mengikutinya.
Kami duduk di dekat Rose, yang tampak asyik menulis sesuatu di perkamen.
“Hai, Molly!” katanya, mengangkat muka. “Dan apa yang terjadi denganmu?” tambahnya pada Al yang berwajah muram.
Al segera menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi, pada saat yang sama si anak perempuan Slytherin lewat di dekat meja kami. Dia mendelik pada Al, yang dibalas Al dengan tertarik.
“Ariella Zabini,” kata Rose, yang juga sedang memandang si anak perempuan Slytherin. “Salah satu dari cewek Slytherin yang suka mengikik.”
“Zabini?” Al kelihatan terkejut. “Dia kan pasanganku di kelas Ramuan...”
“Benar, Al, kau sudah berpasangan dengannya selama dua tahun dan kau tidak mengenalnya, pantas saja dia tersinggung.”
“Aku kan tidak pernah memperhatikan wajah anak-anak perempuan, apalagi anak perempuan Slytherin,” kata Al, membela diri.
“Sudahlah, kita lupakan Zabini, atau apapun namanya,” kataku cepat. “Sekarang dengarkan aku, aku ingin kita semua bertemu di tempat biasa. Ada yang ingin kubicarakan.”
“Bicara?” Rose menatapku dengan cemas. “Bicara apa? Malfoy dan aku tidak bertengkar lagi dan
“Menyebut namaku, Weasel Queen!”
Malfoy, pucat dan berdagu runcing, mendatangi meja kami bersama seorang anak laki-laki berbadan besar, dan empat anak perempuan, yang memakai dasi hijau Slytherin, salah satunya adalah si cewek Zabini. Malfoy, meskipun lebih pendek beberapa centi dari anak-anak lain, tapi dia tampaknya adalah pemimpin mereka.
“Malfoy!” desis Rose, berdiri menghadapi Malfoy.
“Kulihat kau semakin ceking saja, Weasel Queen!”
“Kulihat kau semakin pendek saja, Vampir!”
Al cekikikan.
Aku menahan diri untuk tidak terkikik, aku kan lebih tua dari mereka, jadi aku harus bisa bersikap sebagai kakak yang tidak memihak. Tapi, kata-kata Rose tidak sepenuhnya benar, karena Malfoy tampaknya telah lebih tinggi dari tahun sebelumnya, saat dia dan Rose berkelahi di kereta api, dia sekarang hampir sama tingginya dengan Rose.
Malfoy murka, kelihatannya sedang berusaha menahan diri untuk tidak mencekik Rose. Dia mendelik pada Rose sesaat lalu mengalihkan pandangan pada Al.
“Membuat anak perempuan menangis adalah perbuatan yang rendah, Potter, bagaimana kau bisa menyebut Harry Potter ayahmu?”
“Jelaskan apa yang kau maksudkan, Malfoy, kalau tidak menyingkirlah dari hadapan kami!” kata Rose.
“Dia membuat sepupuku menangis,” kata Malfoy, menunjuk si cewek Zabini, yang tampak sedih di dekatnya.
Aku memandang cewek Zabini dengan tidak yakin. Wajah Zabini terlihat sedih dibuat-buat, jelas sekali omong kosong. Tapi, tampaknya Malfoy tidak begitu memperhatikannya.
“Kau memang sangat pandai berakting, Zabini!” desis Al, yang kemudian juga berdiri.
“Oh, jadi dia sepupumu, Malfoy,” kata Rose, mencibir. “Pantas saja!”
“Apa maksudmu, Weasel Queen?” tanya Cewek Zabini.
“Entahlah,” kata Rose, memandang langit-langit.
Malfoy mendekatkan wajahnya pada Rose, yang menolak untuk mundur dan mendesis tepat di hidung Rose.
“Jangan coba-coba menghina sepupuku, Weasley, atau kau akan tahu sendiri akibatnya,”
“Oh ya, aku benar-benar ingin tahu bagaimana akibatnya,” kata Rose, balas mendesis di hidung Malfoy.
Wajah keduanya hanya berjarak beberapa senti, dan pikiran lain masuk ke otakku: apakah mereka sebentar lagi akan berciuman?
Ha? Dari mana pikiran itu berasal? Aku berdehem dan Malfoy segera menjauhkan diri dari Rose dan memandang Al.
“Dan kau Potter, aku akan membunuhmu kalau kau berani menyentuh sepupuku,” kata Malfoy.
“Aku lebih baik menyentuh cumi-cumi raksasa dari pada menyentuh sepupumu, Malfoy,” balas Al.
Wajah cewek Zabini memerah. Malfoy dan Rose mencabut tongkat sihir secara bersamaan.
Aku membanting buku dan berdiri.
“Rose simpan tongkat sihirmu, dan Malfoy” aku memandangnya. “Pergilah! Kau tidak ingin membuat keributan di perpustakaan, kan?”
Malfoy mendelik padaku, kemudian berjalan menjauh diikuti geng Slytherin-nya.
“Cewek itu, benar-benar tidak bisa dipercaya,” desis Al, mendelik pada belakang kepala Zabini yang berambut merah kecokelatan.
Ya ampun, anak-anak ini, padahal ini baru tahun kedua mereka di Hogwarts, apa yang terjadi pada tahun keenam dan tujuh mereka nanti? Oh, syukurlah, saat itu aku sudah meninggalkan Hogwarts!
Menghela nafas, memandang meja di depanku, dan terkejut karena aku bertatapan dengan mata biru gelap Julian lagi. Sejak kapan dia ada di situ? Tetapi aku tidak akan memikirkannya sekarang. Kami harus segera ke tempat pertemuan.
“Bereskan, barang-barang kalian, Rose, Al, kita harus segera pergi!” kataku, menyambar tasku sendiri dan segera berjalan keluar perpustakaan diikuti oleh Rose dan Al.
Sincerely,
Molly Weasley
Si Penjaga anak-anak yang tampaknya sebentar lagi akan melupakan bagaimana rasanya sendiri.


Bersambung ke Chapter 3

Kisah Next Generation 2 - Diam-Diam Mencintaimu 1


Disclamer: J. K. Rowling

KISAH NEXT GENERATION 2: DIAM-DIAM MENCINTAIMU

Chapter 1


PERHATIAN!
Catatan Harian ini adalah milik:
Nama: Molly Aphorpine Weasley
Tempat Tanggal Lahir: London, 21 Februari 2002
Jenis Kelamin: Perempuan.
Status Darah: Darah-Murni
Warna rambut: Merah
Warna mata: Coklat gelap
Warna kulit: Terang
Tinggi: 165 cm
Berat: 50 kg
Alamat: Hollowtree Resident no. 24, London.
Tongkat sihir: Cherrywood, 24 cm, nadi jantung naga.
Anggota Keluarga: Percy dan Audrey (Orangtua), Lucy (adik)
Catatan: Punya banyak paman, bibi dan sepupu.

Tanggal: Kamis, 4 Desember 2018
Tempat: Perpustakaan Hogwarts
Waktu: Setelah makam malam
Dear Diary,
Aku mencintai Julian Davies!
Ya, kau mendengarku dengan jelas, aku mencintainya, bukan sekedar menyukainya. Aku mencintainya!
Aku sudah mencintainya sejak lama, sejak dia membantuku menemukan buku Cara-Cara Pandai dalam Transfigurasi di perpustakaan. Waktu itu aku kelas tiga, dan aku sangat memerlukan buku itu untuk menyelesaikan PR Transfigurasi-ku. Aku duduk di depan rak dan menangis, tapi dia datang, bertanya apakah dia bisa membantuku dan dia berhasil menemukan buku itu untukku. Aku langsung terpesona, Diary! Aku langsung jatuh cinta. Oke, mungkin itu belum disebut cinta karena waktu itu aku baru tiga belas tahun. Tetapi, aku mulai pasang mata dan menguntit ke mana pun dia pergi, lalu aku tahu (dengan sangat malu) bahwa namanya, Julian Davies, seasrama denganku dan bahkan satu angkatan denganku.
Ya, ampun ke mana saja aku selama ini!? Memalukan!
Oke, akan kujelaskan mengenai diriku sebelum kau menganggapku cewek sombong atau cewek buta.
Aku adalah cewek yang tidak pandai bergaul (ibuku juga seperti itu dan entah bagaimana dia bisa menikah dengan Dad), dan sangat pemalu. Aku tidak bisa berbicara dengan orang yang tidak kukenal dan tidak bisa mengatakan apa yang kupikirkan. Aku juga jarang sekali bicara, dan tidak pernah memperhatikan orang-orang di sekelilingku. Keinginanku yang utama adalah belajar, mengerjakan PR dan membaca apapun yang kuanggap penting. Karena aku tidak memperhatikan sekelilingku itulah, aku tidak melihatnya, aku bahkan tidak tahu siapa-siapa saja teman sekelasku. Aku hanya ingat pada empat cewek mengerikan yang menjadi teman sekamarku di menara Ravenclaw. Aku tidak bisa menceritakan padamu tentang mereka karena sampai sekarang aku tidak tahu pasti wajah mana untuk nama yang mana.
Karena aku jarang berhubungan sosial dan melakukan kegiatan lain, waktuku hanya kuhabiskan untuk belajar dan membaca. Aku adalah yang nomor satu di angkatanku, aku tidak tahu siapa nomor dua dan seterusnya, tapi aku tahu bahwa Julian masuk dalam sepuluh besar. Aku senang karena bukan hanya tubuhnya yang tinggi dan wajahnya tampan, tapi dia juga punya otak.
Nah, sekarang aku akan bercerita tentang Julian.
Julian adalah cowok paling tampan di dunia ini. Jangan tertawa, please, itu kan pendapatku! Wajahnya tampan dengan mata biru gelap dan rambut hitam, tubuhnya tinggi (lebih tinggi kira-kira lima belas senti dariku), senyum dan tawanya sungguh indah (meski bukan tersenyum padaku), pembawaannya sangat sempurna (kurasa semua orang menyetujuinya), dia sangat baik dan pengertian, suka membantu orang lain dan segala hal baik lainnya. Dia juga terkenal, dia adalah Kapten Quidditch Ravenclaw, dan banyak cewek yang berlomba-lomba untuk jadi pacarnya. Bagaimana aku bisa mengalahkan gadis-gadis cantik Hogwarts?
Aku hanya bisa mencintainya dalam diam dan dari kejauhan. Aku hanya bisa menyelimutinya saat dia tertidur di ruang rekreasi karena terlalu lama belajar, mengatur semua buku-bukunya untuk pelajaran keesokan harinya, mengerjakan PR-nya secara diam-diam, dan menguntitnya saat dia menuju ke menara Astronomy untuk berciuman dengan pacarnya, Suzanne Corner. Menyedihkan, bukan? Tetapi ini bukan kesalahan siapa-siapa, ini kesalahanku sendiri yang tidak bisa menyampaikan perasaanku.
Dan setiap kali melihat mereka berciuman, aku selalu berpikir bahwa si cewek adalah aku, tapi cewek itu bukan aku. Aku hanyalah Molly Weasley, cewek pendiam yang tidak pantas didekati oleh siapa pun. Dia mungkin tidak tahu bahwa aku ada, kalau pun tahu, dia mungkin menganggapku sebagai salah satu dari cewek culun di sekolah.
Kau mungkin bertanya-tanya mengapa aku tidak menyampaikan perasaanku. Itu karena aku malu dan takut ditertawakan. Dia pasti akan menertawakanku, dia mungkin menganggap aku tidak selevel dengannya. Dan itu benar sekali, aku memang tidak selevel dengan siapa pun, dan aku mungkin tidak akan pernah berkencan dengan siapa pun (aku harus bertanya pada Mom bagaimana dia bisa menikah dengan Dad).
Dia duduk di sana membaca buku bersampul coklat (aku akan mengecek judul bukunya nanti), sedangkan aku duduk di sini mengawasinya dari balik Transfigurasi untuk Tingkat Menengah yang kubaca. Dia begitu serius sehingga tidak menyadari aku sedang mengawasinya, dan aku juga harus berhati-hati agar tidak ada seorangpun yang tahu aku sedang mengawasinya. Aku tidak ingin kejadian di menara Astronomy itu terjadi lagi. Dom dan Lucy yang hendak menyusup ke Hog’s Head mendapatiku sedang menyusup ke menara Astronomy. Saat itu dia sedang di sana, aku tahu karena aku tidak menemukannya di ruang rekreasi Ravenclaw. Aku berhasil menghindar dari Dom dan Lucy, namun setelah itu semua klan Weasley/Potter mulai mengawasiku. Aku tahu Victoire-lah yang meminta mereka untuk mengawasiku. Dan ini membuatku tidak bebas bergerak.
Berbicara tentang Victoire, dia sekarang telah meninggalkan Hogwarts, dan tugas untuk menjaga anak-anak ada di pundakku. Aku tidak boleh duduk tenang dan menunggu Victoire yang membereskan masalah anak-anak lagi, karena Victoire sudah tidak ada, sedangkan aku ada. Siapa lagi yang mengurus masalah anak-anak kalau bukan aku. Sebelum kepergian Victoire, kami semua berkumpul dan Victoire meminta mereka untuk mendengarkan semua perkataanku.
Pada awal tahun ajaran, anak-anak sedikit memberontak, tapi aku berhasil membuat mereka mematuhiku karena aku menggunakan ancaman yang selalu digunakan Victoire, yaitu mengirim surat pada ibu masing-masing. Aku berhasil, setidaknya mereka tidak melanggar peraturan di depanku, tapi aku tahu (meskipun tidak punya bukti): Dom dan Lucy masih menyusup ke Hog’s Head; Fred dan James masih menyewa anak-anak sebagai kelinci percobaan barang-barang lelucon; Roxy, yang telah dibelikan sapu oleh Aunt Angelina tidak lagi menyusup ke lemari sapu ruang ganti Gryffindor, tapi masih melakukan terbang di malam hari; Louis masih membolos Herbology, entah mengapa; Rose masih bertengkar dengan Scorpius dan Al masih menghabiskan waktunya untuk mencoba mantra-mantra pada anak-anak Slytherin yang tidak tahu apa-apa.
Kurasa Victoire selalu benar tentang semua hal, juga tentang kenyataan bahwa anak-anak sebenarnya harus di tempatkan di asrama Slytherin.
Sincerely,
Molly Weasley
Si pencinta dan penjaga anak-anak

Bukan Ciuman yang Salah (Ted's POV)


Disclamer: J. K. Rowling

BUKAN CIUMAN YANG SALAH


PERHATIAN!
Catatan Harian ini adalah Milik
Nama: Teddy Remus Lupin
Tempat Tanggal Lahir: 12 April 1998
Jenis Kelamin: Laki-laki
Status Darah: Setengah Manusia Serigala
Warna rambut: Hijau Toska (bisa berubah tergantung keinginan)
Warna mata: biru gelap (bisa berubah tergantung keinginan)
Warna kulit: terang (bisa berubah tergantung keinginan)
Tinggi: 180 cm
Berat: 66 kg
Alamat: Yew Cottage, West Country
Tongkat sihir: Willow, 30 cm, bulu ekor phoenix.
Anggota Keluarga: Andromeda Tonks (Nenek)
Catatan: Punya banyak orang yang menyanyangiku, dan menantikan kehadiranku.

Tanggal: Sabtu 23 Desember 2017
Lokasi: Hogsmeade
Waktu: 11 am – waktu yang tidak ditentukan
Aku tidak tahu bagaimana akhirnya aku menyadari bahwa aku mencintainya. Selama ini aku tidak begitu memperhatikan perasaanku padanya. Aku sudah mengenalnya sejak kecil, sering bertemu dengannya, tahu bagaimana dia bersikap: sebagai Cucu Pertama Keluarga Wesley yang Super-sempurna, penuh tanggungjawab, dan selalu mengawasi adik-adik dan sepupu-sepupunya. Aku menyayanginya sebagai seorang adik dan menganggap kehadirannya adalah sudah sewajarnya. 
Dia adalah adik kecil yang sok berwibawa dan sok anggun. Dia tidak setuju setiap kali aku muncul dengan menyamar sebagai orang terkenal, dia selalu mencelaku dan mengatakan aku tidak bertanggungjawab, lalu menguliahiku tentang bagaimana harusnya orang dewasa bersikap. Dia juga tidak pernah bergabung denganku dan anak-anak saat melakukan hal-hal yang mengasyikkan. Dia selalu duduk tegak di ruang tamu, dengan rambut merahnya yang tersisir rapi di belakang punggungnya, dan mendengarkan Celestina Warbeck dengan penuh perhatian. Selain Grandma Weasley, dia adalah satu-satunya orang yang menyukai Celestina Warbeck dalam keluarga.
Aku tahu semua orang menyayanginya: kakek, nenek, ayah, ibu, paman, bibi, adik-adik dan sepupunya menyayanginya. Tetapi dia tidak menuntut ini dan itu, dia selalu mengalah dan mendahulukan kepentingan semua orang daripada kepentingannya sendiri. Dia sangat menyayangi anak-anak, dia selalu ingin memastikan bahwa anak-anak berada di jalur yang benar: mematuhi peraturan dan bertingkah sopan. Kadang aku merasa bahwa dia terlalu membanggakan diri sebagai Cucu Pertama Keluarga Weasley yang Super-sempurna.
Lalu terjadilah itu: aku jatuh cinta padanya!
Kami sedang bermain Truth or Dare, permainan yang selalu kami mainkan di malam Natal, dan dia mengatakan bahwa dia sedang berkencan dengan seseorang, bahwa dia berciuman dengan seseorang di perpustakaan. Wajahnya begitu bercahaya saat menceritakan hal itu, dia bahagia dan aku marah. Kemarahan dan kebencian yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Darah panas seakan mengalir dari jantung ke setiap nadiku. Aku benci pada laki-laki itu, aku benci padanya karena membiarkan dirinya dicium oleh laki-laki tak dikenal. Yang paling menjengkelkan adalah aku benci pada diriku sendiri, mengapa juga aku harus marah? Dia kan bebas berciuman dengan siapa saja yang diinginkannya.
Namun, aku tidak bisa mencegah diriku sendiri untuk memarahinya, aku ingin dia juga merasakan sedikit dari apa yang kurasakan. Aku mengatainya menyedihkan, dan wajahnya berubah menjadi shock dan sedih. Aku senang, aku ingin dia juga menderita. Tetapi setelah itu penyesalan datang, aku menyesal, aku sedih. Aku ingin minta maaf, tapi dia tiba-tiba menghilang. Dia pergi ke Hogwarts dan tidak ada satu berita pun untukku, meskipun aku telah menyuratinya. Aku pergi ke Hogsmeade berharap akan bertemu dengannya, tapi dia tidak muncul. Aku mengunjungi The Burrow saat musim panas, dia juga tidak ada di sana, dia seolah menghilang untuk selamanya.
Dan aku merindukannya: merindukan suaranya, merindukan mata birunya, merindukan bagaimana dia menguliahiku tentang peraturan dan tanggungjawab, merindukan senyumnya dan merindukan semua yang ada didirinya. Karena tidak bisa menahan perasaan lagi, aku menceritakan tentang apa yang terjadi pada anak-anak berharap mereka mau membantuku. Tetapi, semua memarahiku, memakai kesempatan untuk mencaci-makiku dan membuatku tersiksa sepanjang hari itu. Aku sangat beruntung karena anak-anak tidak diijinkan untuk menggunakan sihir, bisa-bisa aku hanya tinggal serpihan. Setelah puas mencaci dan menyiksaku, anak-anak menyuruhku untuk minta maaf padanya.
Sepanjang sisa liburan musim panas, aku memikirkan cara untuk minta maaf padanya, untuk bisa bicara lagi dengannya. Dan aku menemukan cara yang paling mudah, yaitu menyamar jadi pacarnya. Aku masuk ke kompartemen Ketua Murid dan melihatnya duduk di sana. Tersenyum lembut padaku, rambut merahnya bergerak riang karena semilir angin bulan September, mata birunya bercahaya dengan tanya dan aku tidak tahan lagi, aku menciumnya.
Sempurna!
Ciuman yang benar-benar sempurna. Seolah seluruh jiwa kami menyatu, seolah dia adalah potongan jiwaku yang hilang dan kita telah kembali. Aku akan merelakan apapun untuk satu ciuman ini. Ciuman yang membuatku menyadari bahwa dialah yang kucari selama ini, bahwa dialah satu-satunya orang yang akan bersamaku seumur hidupku. Kemudian, dia menyadari bahwa itu aku dan dia marah lagi, mengusirku dan menyuruhku untuk tidak muncul dihadapannya lagi. Tetapi kurasa itu omong kosong, karena aku tahu dia juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan dalam ciuman itu.
Hari-hari berlalu dan aku merasa seperti berada di neraka. Aku ingin sekali bertemu dengannya, bicara dengannya, tapi dia menghilang lagi; surat-suratku tidak di balas dan aku juga tidak melihatnya di Hogsmeade. Aku jadi bertanya-tanya sampai kapan dia mau menghindariku, tapi aku tidak akan membiarkannya menghindar perasaan itu. Aku terus berkorespondensi dengan anak-anak, dan anak-anak memberitahuku bahwa dia akan ke Hogmeade sebelum liburan Natal. Aku menyelesaikan latihan pelacakan dan penyamaran di Banffshire dan segera ber-Disapparate ke Hogsmeade.
Muncul di sisi jalan yang menuju Hogsmead, aku melihat Molly sedang bersembunyi di balik sebuah pohon yang tumbuh di pinggir jalan, tampaknya sedang bersembunyi dari seseorang, atau sedang mengintai seseorang.
“Molly!” panggilku.
“Godric, Ted, kau mengagetkanku,” katanya, tampak sangat terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini?”
“Kau sedang apa?” tanyaku.
“Tidak sedang apa-apa,” kata Molly cepat. “Sekarang pergilah, aku baru saja melihat Victoire masuk ke Three Broomstick bersama cowok.”
“Cowok?” tanyaku. “Tapi kau bilang dia dan Fluge sudah putus.”
“Memang sudah, tapi ini cowok yang berbeda. Jadi, kau harus cepat-cepat pergi. Pergilah! Jangan biarkan dia berciuman dengan cowok tak dikenal!”
Molly mendorongku dan aku terpaksa pergi meninggalkannya dan menuju Three Broomstick. Aku masuk ke bar itu dan melihatnya di sana sedang mendekatkan wajahnya pada seorang cowok culun. Apa dia serius? Cowok itu bahkan tidak selevel dengannya.  Tanpa berpikir panjang, aku mengayunkan tinjuku dan meninju cowok itu, membuatnya terjatuh ke lantai dengan wajah berdarah. Dia segera membantu cowok itu, dia mengabaikanku, bahkan menyuruhku minta maaf. Tetapi aku tidak ingin minta maaf, karena ini bukan salahku. Yang salah adalah dia yang telah membuatku cemburu. Dia kemudian pergi meninggalkanku.
Tidak. Tidak! Aku tidak akan membiarkanya pergi sekarang, aku tidak akan membiarkannya pergi tanpa bicara denganku. Aku mengejarnya dan memaksa untuk bicara dengannya, kami menuju Shrieking Shack dan berciuman lagi.
“Ciuman kita bukanlah ciuman yang salah, percayalah padaku!” kataku, setelah melepaskannya.
Dia mengangkat alis dan tersenyum.
“Kalau menurutmu begitu, ya begitu,” katanya.
“Tapi kau merasa bahwa ini salah!”
“Itu karena kau memulainya dengan salah. Kau menyamar jadi Daniel...”
“Apakah kau akan menciumku kalau aku datang padamu waktu itu sebagai Teddy Lupin.”
“Sebenarnya aku tahu itu kau,” katanya.
“Apa?” aku terkejut memandangnya.
“Warna matamu terlalu gelap,” katanya. “Uncle Harry sudah memberitahuku rahasia untuk mengenalimu, katanya kau tidak pandai mengubah warna matamu.”
“Kau tahu itu aku dan kau menciumku?”
“Ya, aku tahu itu kau dan menciummu karena aku memang ingin menciummu.”
“Jadi mengapa selama ini kau menghindariku?”
“Kurasa kau harus sedikit dihukum karena mencoba untuk menipuku,” katanya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia tersenyum dan tampak cantik berlatarbelakangkan salju putih.

FIN

Kisah Next Generation 1 - Chapter 9



Disclamer: J. K. Rowling
KISAH NEXT GENERATION 1: CIUMAN YANG SALAH

Chapter 9


Tanggal: Sabtu 23 Desember 2012
Lokasi: Hogsmeade
Waktu: 11 am – waktu yang tidak ditentukan
Terry terbanting dengan keras di lantai bar dan darah mengalir di hidungnya. Aku segera berlari mendekatinya.
Ya, ampun, bisa-bisanya dia dipukul, apakah ada yang iri dengan keberhasilannya sebagai anggota termuda Liga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sihir Sedunia? Atau dia pernah menyakiti hati seseorang? Merebut pacar orang? Yang terakhir ini jelas tidak mungkin, pacar saja tidak punya, bagaimana bisa merebut pacar orang?
“Kau baik-baik saja?” tanyaku, mengulurkan tangan memeriksa wajah Terry.
“Yeah, aku” dia berusaha berdiri dan aku membantunya.
Apa yang kau lakukakan?”
Tiba-tiba ada yang bertanya dan suara ini sangat kukenal, aku membalikkan tubuh dan berhadapan dengan kepala bermata biru dan berambut hijau toska yang tertempel di tubuh yang bagus. Tinjunya masih terkepal, rupanya dia yang baru saja meninju Terry.
Sial! Mengapa dia ada di sini? Dia seharusnya ada di Banffshire, kan?
“Kau yang meninjunya?” tanyaku.
Pertanyaan bodoh, sudah jelas dia yang meninjunya.
“Kau kira siapa? Dia memang pantas ditinju.”
“Kau kenal dia?” tanya Terry, menyeka darah di wajahnya.
“Yeah, aku
“Apa yang kaulakukan di sini dengannya?” Teddy menunjuk Terry dengan dramatis.
“Kami sedang minum Butterbeer dan kau meninjunya tanpa alasan,” kataku. “Kau harus minta maaf padanya!”
Teddy tertawa.
“Minta maaf? Persetan, memangnya aku peduli!” katanya.
“Tapi kau telah melakukan tindak kekerasan tanpa alasan, tidak bertanggujawab dan
“Oh, tutup mulut, jangan mulai lagi! Aku tidak ingin mendengar pidato tentang tanggungjawab atau apapun sekarang,” kata Teddy.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku. “Kau seharusnya di Banffshire, kan?”
“Apakah kau tidak pernah melihat peta? Banffshire hanya beberapa kilometer dari sini
Pantas saja!
Aku memandang berkeliling dan melihat semua mata sedang memandang kami, menantikan pertunjukkan berikutnya.
Sial! Bisa dipecat aku kalau kejadian ini tersebar! Ketua Murid Hogwarts yang cantik, mengadu domba dua orang pria yang mencintainya! Ya, ampun!
“Ayo, kita pergi,” kataku, menarik tangan Terry dan berjalan keluar Three Broomstick tidak menghiraukan Teddy yang tercengang.
Sampai di luar, aku segera menyeretnya berlari di atas salju.
“Berhenti di sana, Victoire Gabrielle Weasley!” teriak Teddy dari belakang kami.
Kami berhenti dan melihat Teddy sedang berjalan mendekati kami.
“Tampaknya kau dalam masalah besar, Victoire,” bisik Terry. “Dan aku sebenarnya tidak ingin terlibat, tapi asyik juga melihat cowok yang cemburu. Ini bisa dimasukkan dalam penelitian kami tentang perasaan manusia yang bisa menciptakan kekuatan sihir, dan juga
“Oh, tutup mulut!” gertakku.
Teddy sudah berdiri di depan kami, dia mendelik pada Terry, dan Terry buru-buru melepaskan tangannya dari tanganku.
“Aku tidak terlibat, sobat!” katanya, mengangkat tangan.
Pengkhianat!
“Mengapa kau pergi padahal aku masih ingin bicara denganmu?” tanya Teddy.
“Karena aku tidak ingin kita bertengkar di depan banyak orang,” jawabku.
“Ya, ya, statusmu sebagai Cucu Pertama Keluarga Weasley yang Super-sempurna, Ketua Murid sempurna Hogwarts sedang dipertaruhkan di sini, aku mengerti,” kata Teddy sinis.
Ya ampun, mengapa dia tidak bisa bicara dengan lebih baik?
“Dengar, ini bukan masalah status atau apapun” aku mulai, tapi Teddy memotong.
“Siapa dia?” mendelik pada Terry, yang pura-pura tertarik pada Scrivenshaft's Quill Shop di depannya. “Mengapa kau mau bicara dengannya, tapi tidak mau bicara denganku?”
“Buat apa aku bicara denganmu? Tidak ada yang perlu kita bicarakan...”
“Tentu saja, banyak yang harus kita bicarakan,” kata Teddy.
“Contohnya apa?”
“Ciuman itu. Jangan berpura-pura kau tidak merasakan apa-apa!”
Deg!
Jantungku berdebar kencang. Brengsek ini, apakah dia harus mengungkit perihal ciuman itu di tengah jalanan Hogsmeade?
Aku memandang Scrivenshaft's Quill Shop dan berpikir untuk berpura-pura tidak tahu dan bertanya ciuman apa? Dan aku yakin sekali, Teddy pasti akan langsung murka kalau aku berani bertanya ciuman apa.
Mungkin karena melihatku yang terdiam, Terry berkata,
“Aku Terry,” memperkenalkan diri tanpa ada yang bertanya. “Aku tidak sengaja bertemu dengannya di sini, jadi jangan salah paham!”
“Nah, kalau begitu pergilah... kau tidak punya urusan lagi dengannya, kan?” kata Teddy, mengusir.
“Sampai ketemu lagi,” kata Terry padaku.
Aku mengangguk.
Nah, sekarang tinggal kami berdua. Apa yang harus aku lakukan?  Aduh, mengapa sekarang wajahku jadi merah padam seperti udang yang kelamaan direbus? Sial, ini pasti gara-gara gen Weasley.
Sial... sial!
Sebenarnya aku sudah mempersiapkan moment khusus untuk bicara dengannya, yaitu saat malam Natal. Saat kami duduk bersama mendengarkan Celestina Werback, namun...
“Nah, Victoire, ayo kita ke Madam Puddifoot...”
“Aku benci tempat itu...” kataku.
“Kau mirip Ron,” kata Teddy. “Shrieking shack kalau begitu.”
Diary, akhirnya aku merasakan sesuatu yang benar-benar membahagiakan. Bergandengan tangan seperti ini menembus salju, mendaki bukit menuju Shrieking Shack.
“Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku menciummu waktu itu? Di kereta,” tanya Teddy, setelah kami tiba di pagar kayu yang memisahkan Shrieking Shack dan jalan utama.
“Karena kau ingin mempermainkan aku?”
“Berhentilah menarik kesimpulan yang bukan-bukan!” kata Teddy.
“Lalu apa?”
“Itu karena aku memang ingin menciummu. Aku tahu kau tidak mungkin mau berciuman denganku, jadi aku menyamar sebagai pacarmu.”
“Aku sudah putus dengannya,” aku memberitahu Teddy.
“Ya, aku tahu, anak-anak menulis padaku. Mereka memintaku untuk mendekatimu, tapi kau tidak pernah muncul di Hogsmeade.”
“Kau mengharapkan aku bersikap bagaimana? Kau mengatai aku menyedihkan. Kau menyamar jadi pacarku dan menciumku―”
“Waktu itu aku marah. Kau mengatakan bahwa kau punya pacar dan berciuman dengannya di perpustakaan... Dan aku sangat marah, bukan padamu, tapi pada diriku sendiri. Aku cemburu, ingin rasanya aku mengutuk Douglas Fluge atau apapun namanya―”
“Daniel Fluge...”
“Ya, Daniel Fluge... kulihat kau tampak bahagai dan aku menderita karena itu aku ingin membuatmu merasakan sedikit apa yang kurasakan.”
Aku memandangnya sekarang. Teddy tampak sedikit stress.
Jadi dia mengataiku menyedihkan karena cemburu pada Daniel? Ha, mana adilnya itu?
“Dan setelah itu kau tidak muncul di Hogsmeade atau pun saat musim panas di The Burrow. Aku tidak mungkin ke rumahmu karena aku tidak punya alasan untuk ke sana, bisa-bisa aku dimantrai Bill.”
“Lalu kau menciumku di kereta,” kataku.
“Yah, aku sudah menanti-nantikan kesempatan ini, Molly sudah menunjukkan padaku yang mana Fluge, jadi aku menyamar jadi dia dan menciummu...” sekarang Teddy tersenyum memandangku.
“Seharusnya aku menamparmu waktu itu,” kataku.
“Tapi aku tidak menamparku...”
“Itu karena aku sedikit bingung...”
“Bingung karena kau merasakan sesuatu yang lain dalam ciuman itu, kan?”
“Yeah, aku―”
“Nah, Victoire, aku tidak ingin kau berpikir lama-lama, maukah kau berkencan denganku? Aku akan berusaha bersikap baik, bertanggungjawab, dan menjadi cowok yang sesuai untuk Cucu Pertama Keluarga Weasley yang Super-sempurna dan aku akan dengan senang hati mendengarkan kuliahmu tentang cara-cara hidup bertanggungjawag dan―”
“Bisakah kau tutup mulut dan menciumku?”
Dan kami berciuman...
Diary, begitulah kisahku, aku benar-benar bahagia sekarang. Aku tahu anak-anak benar, Teddy Lupin adalah cowok yang tepat untukku. Baiklah, aku ingin mengatakan, sekali ini saja, bahwa sebenarnya aku bukanlah Cucu Pertama Keluarga Weasley yang Super-sempurna. Aku adalah diriku sendiri dengan segala kekuranganku.
Sampai jumpa di kisah-kisahku yang lain! Aku akan menulis lagi lain kali, kalau aku sempat karena saat ini aku sangat bahagia, sulit untuk menggambarnya dalam kata-kata.
Sincerely,
Victoire Weasley
Cewek biasa yang sedang bahagia.


FIN